Selasa, 21 Juli 2015

CINTA DALAM RIDHO-NYA (sebuah cerpen)


Orang bisa beranjak tua, tetapi kebahagiaan tak pernah memandang usia. Teruntuk Abah dan nini Neneng selamat berbahagia! Penuh harapan dari kami sekeluarga, kalian selalu dinaungi oleh ridho-Nya dalam janji suci setia.
Tiga syawal, ikrar pernikahan telah sah dikumandangkan dengan tegas oleh Abah, kakekku. Di usianya yang senja kini, wajahnya tetap menyiratkan senyum daun segar. Terlebih ketika telah ditetapkannya seorang wanita cantik resmi menjadi istrinya. Wanita yang tak berbeda jauh usianya dengan kakek. Wanita yang telah terpilih dan dipilih oleh sepasang kekasih sejati: kakek dan nenekku.

Tapi sekarang, nenekku sudah tiada. Beliau pergi meninggalkan seorang laki-laki yang menjadi pendamping hidupnya sampai akhir hayat. Bahkan di saat ia tengah ditemani malaikat maut, kala menunggu detik-detik kepergiannya, laki-laki itu terus berada di sampingnya. Deras hati kakek menangis tapi wajahnya kosong menatap sendu. Pandangannya menerawang mengingat keinginan terkahir sang pujaan hati bahwa ia ingin meninggal dalam pangkuan suaminya.


Hingga nenek benar-benar menghembuskan napas terakhirnya dalam tenang, kakek belum bisa mewujudkan keinginan terakhir sang istri tercinta. Ia hanya bisa mendekapnya, menciumnya, dan mengucapkan betapa ia mencintainya. Kakek tak ingin mengucapkan itu: salam perpisahan—yang baginya akan sangat menyayat hati. Ia yakin di suatu tempat yang jauh lebih indah, suatu hari nanti, mereka akan dipersua kembali.

***

Orang yang pergi biasanya meninggalkan wasiat-wasiat untuk yang masih hidup. Ada satu wasiat peninggalan nenek yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh kami; keluarga besarnya. Nenek dan kakek memiliki empat orang anak yang dari keseluruhannya memanenkan 25 orang cucu. Betapa bahagianya nenek dan kakek ketika kami semua tengah berkumpul bercengkrama. Tetapi saat ini, kebahagiaan itu hanya bisa dirasai oleh kakek, bahkan sebagian kebahagiaan itu hilang baginya, lebih karena nenek yang sudah tiada.


Nenek pergi dengan meninggalkan sebuah kotak berisikan seperangkat alat sholat. Kotak itu dihiasi pita kain berwarna perak dan renda merah muda. Pada tutupnya terukir gambar hati yang diberi plastik sehingga transparan terlihatnya. Di dalamnya tampak kain mukena bermotifkan bunga-bunga indah. Kain itu bersih, suci. Nampak baru dan selalu bercahaya. Itulah cahaya kebaikan nenek, yang dengan tulus hati menyiapkan itu semua untuk kebahagiaan suaminya kelak jika ia tiada.


Siapa yang tahu ajal, siapa yang tahu batas usia? Ternyata sakit nenek yang sudah empat bulan ini berujung pada rasa kehilangan yang amat mendalam di hati kami semua, terutama hati kakek. Tetapi nenek tidak menginginkan hal itu. Nenek tak ingin kakek berduka, sedih berkepanjangan, karena kepergiannya. Nenek tak ingin air mata suaminya menetes dan melukai sukma arwahnya. Ia hanya ingin kebahagiaan sang tambatan hati, dengan ataupun tanpa dia.


Seperti sebuah angan yang menjadi kenyataan, firasat nenek bahwa ia yang akan meninggalkan bahtera sakinah ini terlebih dahulu benar-benar terjadi. Tetapi janji nenek untuk membuat kakek bahagia tetap dipenuhinya meski ia sudah berada di alam lain. Nenek pernah berkata kepada kekek bahwa di kala senja usianya kini, ia tidak lagi bisa melayani kakek, memenuhi keinginannya, dan menjadi andalannya dalam menjalani kesehariannya—meski hatinya tetap bisa menjadi satu-satunya sandaran. Bagai mengulum tangkai mawar berduri yang masih segar, ia memberikan mawar itu kepada sang kekasih hati, dengan tulus beriring doa, sebagai tanda cintanya. Ia meminta kakek untuk bersedia menikah lagi.


Betapa sungguh keputusan semacam itu hanya bisa dilontarkan oleh wanita berhati suci. Jiwanya tak pernah dikotori dengan dengki. Mulutnya selalui dipenuhi nasihat-nasihat ilahi. Sukmanya dialiri dengan rasa kasih sayang pada keluarganya. Lantunan dzikir dan doa senantiasa mengalun pada lidahnya. Tak ada testimoni negatif dari orang-orang di sekitarnya tentang dirinya. Raut muka jasadnya tersenyum: bercahaya. Tak terbayang jelita wajahnya di alam baka sana.


Tak lama setelah semua duka cita itu mereda, tibalah saatnya kami semua melaksanakan wasiat nenek. Tepat pada hari ke seratus sepuluh meninggalnya nenek, kakek memilih seorang wanita solehah nan cantik untuk diperistrinya. Seorang nenek yang baik hati dengan tiga orang anak dan sembilan orang cucu. Wanita itu memang sudah terpilihkan dengan tepat oleh nenek sebelum meninggalnya. Dulu ketika di rumah sakit, nenek pernah berkata selepas bangun dari tidurnya, “Ini mah nini Neneng, ini mah nini Neneng, bukan nini Oko, jangan salah manggil, ya. Ini mah nini Neneng.” sambil menunjuk dirinya. Entah apa yang baru saja datang dalam mimpi nenek saat itu hingga beliau bisa berkata demikian. Kami anggap itu suatu pertanda, dan tanda itu memang benar-benar nyata sekarang.


Air mata bahagia tumpah ruah sesaat selepas ikrar janji suci itu dikumandangkan oleh Abah. Di sebuah masjid tempat dilangsungkannya pernikahan fenomenal sepanjang sejarah kehidupan keluarga besar kami, hampir seluruh sanak saudara yang hadir di situ menangis. Terlebih lagi kedua mempelai laki-laki dan perempuan. Mereka bagai dua insan yang terlahir kembali. Filosofi hari raya kembali fitri di sini benar-benar terjadi. Kakek dan nenek baruku saling memandang, tersenyum. Ketika Abah mendekap dan mencium istrinya dengan gembira, seketika tawa buncah memenuhi ruangan masjid yang cukup luas dengan empat tiang itu. Kami semua bersuka cita pada hari itu. Nenek di alam sana pasti turut tersenyum bahagia menyaksikan ini semua.


Selanjutnya, bahtera kehidupan Abah dan Nini Neneng kami angankan berlangsung dengan sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kami yakin pertalian itu dilandasi oleh rasa cinta yang penuh kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh indah cerita yang dituliskan tinta-Nya bagi kehidupan kakek, nenek, nini Neneng, dan kami semua. Setelahnya, ini akan menjadi sebuah cerita yang panjang. Mudah-mudahan cerita ini akan berujung pada dikumpulkannya kembali keluarga kami di surga yang menawan kelak. Aamiin ya Tuhanku yang Maha Penyayang.

TIDAK TAMAT