Tiga syawal, ikrar pernikahan telah sah dikumandangkan dengan tegas oleh Abah, kakekku. Di usianya yang senja kini, wajahnya tetap menyiratkan senyum daun segar. Terlebih ketika telah ditetapkannya seorang wanita cantik resmi menjadi istrinya. Wanita yang tak berbeda jauh usianya dengan kakek. Wanita yang telah terpilih dan dipilih oleh sepasang kekasih sejati: kakek dan nenekku.Orang bisa beranjak tua, tetapi kebahagiaan tak pernah memandang usia. Teruntuk Abah dan nini Neneng selamat berbahagia! Penuh harapan dari kami sekeluarga, kalian selalu dinaungi oleh ridho-Nya dalam janji suci setia.
Tapi sekarang, nenekku sudah tiada. Beliau pergi meninggalkan seorang
laki-laki yang menjadi pendamping hidupnya sampai akhir hayat. Bahkan di saat
ia tengah ditemani malaikat maut, kala menunggu detik-detik kepergiannya,
laki-laki itu terus berada di sampingnya. Deras hati kakek menangis tapi
wajahnya kosong menatap sendu. Pandangannya menerawang mengingat keinginan
terkahir sang pujaan hati bahwa ia ingin meninggal dalam pangkuan suaminya.
Hingga nenek benar-benar menghembuskan napas terakhirnya dalam tenang,
kakek belum bisa mewujudkan keinginan terakhir sang istri tercinta. Ia hanya
bisa mendekapnya, menciumnya, dan mengucapkan betapa ia mencintainya. Kakek tak
ingin mengucapkan itu: salam perpisahan—yang baginya akan sangat menyayat hati.
Ia yakin di suatu tempat yang jauh lebih indah, suatu hari nanti, mereka akan
dipersua kembali.
***
Orang yang pergi biasanya meninggalkan wasiat-wasiat untuk yang masih
hidup. Ada satu wasiat peninggalan nenek yang sangat penting untuk dilaksanakan
oleh kami; keluarga besarnya. Nenek dan kakek memiliki empat orang anak yang
dari keseluruhannya memanenkan 25 orang cucu. Betapa bahagianya nenek dan kakek
ketika kami semua tengah berkumpul bercengkrama. Tetapi saat ini, kebahagiaan itu
hanya bisa dirasai oleh kakek, bahkan sebagian kebahagiaan itu hilang baginya,
lebih karena nenek yang sudah tiada.
Nenek pergi dengan meninggalkan sebuah kotak berisikan seperangkat
alat sholat. Kotak itu dihiasi pita kain berwarna perak dan renda merah muda.
Pada tutupnya terukir gambar hati yang diberi plastik sehingga transparan
terlihatnya. Di dalamnya tampak kain mukena bermotifkan bunga-bunga indah.
Kain itu bersih, suci. Nampak baru dan selalu bercahaya. Itulah cahaya kebaikan
nenek, yang dengan tulus hati menyiapkan itu semua untuk kebahagiaan suaminya
kelak jika ia tiada.
Siapa yang tahu ajal, siapa yang tahu batas usia? Ternyata sakit nenek
yang sudah empat bulan ini berujung pada rasa kehilangan yang amat mendalam di
hati kami semua, terutama hati kakek. Tetapi nenek tidak menginginkan hal itu.
Nenek tak ingin kakek berduka, sedih berkepanjangan, karena kepergiannya. Nenek
tak ingin air mata suaminya menetes dan melukai sukma arwahnya. Ia hanya ingin
kebahagiaan sang tambatan hati, dengan ataupun tanpa dia.
Seperti sebuah angan yang menjadi kenyataan, firasat nenek bahwa ia
yang akan meninggalkan bahtera sakinah ini terlebih dahulu benar-benar terjadi.
Tetapi janji nenek untuk membuat kakek bahagia tetap dipenuhinya meski ia sudah
berada di alam lain. Nenek pernah berkata kepada kekek bahwa di kala senja usianya
kini, ia tidak lagi bisa melayani kakek, memenuhi keinginannya, dan menjadi
andalannya dalam menjalani kesehariannya—meski hatinya tetap bisa menjadi
satu-satunya sandaran. Bagai mengulum tangkai mawar berduri yang masih segar,
ia memberikan mawar itu kepada sang kekasih hati, dengan tulus beriring doa,
sebagai tanda cintanya. Ia meminta kakek untuk bersedia menikah lagi.
Betapa sungguh keputusan semacam itu hanya bisa dilontarkan oleh
wanita berhati suci. Jiwanya tak pernah dikotori dengan dengki. Mulutnya
selalui dipenuhi nasihat-nasihat ilahi. Sukmanya dialiri dengan rasa kasih
sayang pada keluarganya. Lantunan dzikir dan doa senantiasa mengalun pada
lidahnya. Tak ada testimoni negatif dari orang-orang di sekitarnya tentang
dirinya. Raut muka jasadnya tersenyum: bercahaya. Tak terbayang jelita wajahnya
di alam baka sana.
Tak lama setelah semua duka cita itu mereda, tibalah saatnya kami
semua melaksanakan wasiat nenek. Tepat pada hari ke seratus sepuluh
meninggalnya nenek, kakek memilih seorang wanita solehah nan cantik untuk
diperistrinya. Seorang nenek yang baik hati dengan tiga orang anak dan sembilan
orang cucu. Wanita itu memang sudah terpilihkan dengan tepat oleh nenek sebelum
meninggalnya. Dulu ketika di rumah sakit, nenek pernah berkata selepas bangun
dari tidurnya, “Ini mah nini Neneng, ini
mah nini Neneng, bukan nini Oko, jangan salah manggil, ya. Ini mah nini
Neneng.” sambil menunjuk dirinya. Entah apa yang baru saja datang dalam mimpi nenek saat itu hingga
beliau bisa berkata demikian. Kami anggap itu suatu pertanda, dan tanda itu
memang benar-benar nyata sekarang.
Air mata bahagia tumpah ruah sesaat selepas ikrar janji suci itu
dikumandangkan oleh Abah. Di sebuah masjid tempat dilangsungkannya pernikahan
fenomenal sepanjang sejarah kehidupan keluarga besar kami, hampir seluruh sanak
saudara yang hadir di situ menangis. Terlebih lagi kedua mempelai laki-laki dan
perempuan. Mereka bagai dua insan yang terlahir kembali. Filosofi hari raya
kembali fitri di sini benar-benar terjadi. Kakek dan nenek baruku saling
memandang, tersenyum. Ketika Abah mendekap dan mencium istrinya dengan gembira,
seketika tawa buncah memenuhi ruangan masjid yang cukup luas dengan empat tiang
itu. Kami semua bersuka cita pada hari itu. Nenek di alam sana pasti turut
tersenyum bahagia menyaksikan ini semua.
Selanjutnya, bahtera kehidupan Abah dan Nini Neneng kami angankan
berlangsung dengan sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kami yakin pertalian itu dilandasi
oleh rasa cinta yang penuh kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh indah cerita yang
dituliskan tinta-Nya bagi kehidupan kakek, nenek, nini Neneng, dan kami semua. Setelahnya,
ini akan menjadi sebuah cerita yang panjang. Mudah-mudahan cerita ini akan berujung
pada dikumpulkannya kembali keluarga kami di surga yang menawan kelak. Aamiin
ya Tuhanku yang Maha Penyayang.
TIDAK TAMAT