Jumat, 07 Agustus 2015

Pemertahanan Bahasa Indonesia di Tengah Globalisasi



            Ketika saya sedang berkumpul bersama teman-teman saya yang mendalami ilmu ekonomi, saya dibilang begini: “Ah, sayang sekali Anda mempelajari bahasa Indonesia di perkuliahan Anda, sekarang ini yang lebih terpakai adalah bahasa Inggris.” Saya tersenyum saja mendengar teman saya berbicara begitu. Teman saya ini sehari-harinya memang berkutat dengan isu global yang membahas perekonomian dunia. Ia tahu ramalan ekonomi terkini tentang Indonesia bahwa negeri ini akan bergerak dari kekuatan ekonomi dunia terbesar ke-16 menjadi ketujuh di tahun 2030. Ia tahu segala hal mengenai saham, nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga-harga bahan pokok yang fluktuatif, dan sebagainya. Saya yakin banyak orang yang berfikiran sama layaknya teman saya itu. Terutama di zaman globalisasi seperti sekarang ini. Tapi saya mencoba menanggapi opini itu dengan pendekatan lain. Apakah yang membuat mereka bisa berpendapat dan menyimpulkan hal-hal itu? Apa alat yang mereka gunakan untuk menjelaskan kepada dunianya tentang isu-isu ekonomi tersebut? Bagaimana cara mereka bisa mengatakan dan mengungkapkan gagasan-gagasannya?
            Jawabannya adalah tentu saja dengan penggunaan bahasa. Segala macam ilmu pengetahuan baik itu ekonomi, teknologi, politik, sosial, budaya dan sebagainya pasti membutuhkan bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan segalanya. Hubungan bahasa dan ilmu pengetahuan bersifat kumulatif, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Tanpa kegiatan berbahasa—baik itu tertulis maupun lisan—bisa ditebak bahwa segala ilmu pengetahuan pasti menemui ajalnya dan Indonesia akan berlayar bagai kapal tanpa kompas.
Di era globalisasi seperti kurun waktu sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyeruak semakin pesat. Hal ini akan menimbulkan kepincangan bagi suatu bangsa jika tidak diimbangi dengan kecakapan penggunaan bahasa oleh masyarakatnya. Bidang bahasa  telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bisa dipergunakan untuk menulis berbagai macam ilmu pengetahuan. Biarpun bagaimana, segala buku teks yang berbahasa Inggris tentunya harus ‘diartikan’ dulu ke dalam bahasa Indonesia yang cocok agar bisa dimengerti oleh kita: orang Indonesia.
Suatu bangsa akan tergusur arus globalisasi yang bukan main dahsyatnya jika tidak memiliki bekal berbahasa yang baik. Dalam hal ini, Indonesia punya suplemen andalannya agar masyarakatnya tidak jauh tertinggal karavan globalisasi ini. Adalah bahasa Indonesia; yang menjadi anugerah Tuhan terbesar bagi kita bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat melenyapkan persoalan bahasa yang sangat pelik dan menimbulkan emosi kedaerahan. Kita tahu bahasa Inggris sedemikian luasnya dipakai di dunia. Tetapi bahasa Indonesia adalah bekal awal orang Indonesia jika mau menguasai dunia. Tidak ada orang sukses Indonesia yang tak cakap menggunakan bahasa Indonesianya. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar dirasa perlu bahkan lebih utama dibanding bahasa lainnya demi memperluas wawasan orang Indonesia dalam mengikuti pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menghadapi era globalisasi.
Tetapi yang terjadi sekarang justru orang semakin menjauh dari bahasa yang bisa merekatkan perbedaan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Hal tersebut otomatis menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri pada dunia luar. Mari kita lihat kenyataan, hampir 90 persen karya tulis ilmiah tentang Indonesia justru disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia, yang sebagian besar tentunya adalah orang asing. Padahal keistimewaan Indonesia tidak seperti di Negara-negara lain yang tidak memiliki bahasa yang diakui secara nasional sehingga sering timbul perpecahan kedaerahan. Contohnya di Belgia, penduduk yang berbahasa Flaams mengalami diskriminasi dari pembicara-pembicara bahasa Perancis. Lebih menyedihkan lagi ialah persoalan bahasa di negara-negara afrika di sebelah selatan Sahara yang memiliki tidak kurang dari delapan ratus bahasa. Bayangkan jika Indonesia tidak memiliki bahasa nasional bahasa Indonesia? Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, dan budaya ini akan menjadi kacau balau. Beruntung Indonesia punya satu bahasa yang kedudukannya di atas bahasa-bahasa daerah lainnya yaitu bahasa Indonesia. Inilah yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat Indonesia guna mempertahankan eksistensi Indonesia di mata dunia.      
            Kemajuan suatu bangsa memang bisa dilihat dan dihitung dari segi ekonomi maupun sektor lainnya, tetapi apakah jika tidak diiringi dengan kualitas penggunaan bahasa oleh masyarakatnya akan juga menjadi bangsa yang dinilai baik oleh dunia? Kalau dalam berbicara seseorang melakukan kesalahan dengan mempertukarkan kata-kata bahasa kasar dengan kata-kata bahasa halus, atau sebaliknya, ia akan dianggap kampungan, bukan sekolahan, tak beradab, dan tidak bisa disebut sebagai orang yang berbangsa.
Selain bahasa, semua orang pun tahu bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam, manusia, dan budayanya. Segala hal itulah yang sering masyarakat Indonesia gaung-gaungkan kebanggannya di mata dunia. Tetapi saya juga ingin mengatakan, hanya ada satu hal yang bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia ketika sudah tidak ada lagi kekayaan apapun yang ada dalam genggaman tangannya. Satu hal ini kepemilikanya mutlak kepada masyarakat Indonesia secara utuh dan dikuasai juga oleh hampir setiap individunya. Ialah bahasa Indonesia yang jika ia dijunjung tinggi, maka ia tidak akan lekang dimakan zaman dan tidak bisa dicaplok ataupun direbut oleh bangsa manapun di seluruh jagat raya.

Selasa, 21 Juli 2015

CINTA DALAM RIDHO-NYA (sebuah cerpen)


Orang bisa beranjak tua, tetapi kebahagiaan tak pernah memandang usia. Teruntuk Abah dan nini Neneng selamat berbahagia! Penuh harapan dari kami sekeluarga, kalian selalu dinaungi oleh ridho-Nya dalam janji suci setia.
Tiga syawal, ikrar pernikahan telah sah dikumandangkan dengan tegas oleh Abah, kakekku. Di usianya yang senja kini, wajahnya tetap menyiratkan senyum daun segar. Terlebih ketika telah ditetapkannya seorang wanita cantik resmi menjadi istrinya. Wanita yang tak berbeda jauh usianya dengan kakek. Wanita yang telah terpilih dan dipilih oleh sepasang kekasih sejati: kakek dan nenekku.

Tapi sekarang, nenekku sudah tiada. Beliau pergi meninggalkan seorang laki-laki yang menjadi pendamping hidupnya sampai akhir hayat. Bahkan di saat ia tengah ditemani malaikat maut, kala menunggu detik-detik kepergiannya, laki-laki itu terus berada di sampingnya. Deras hati kakek menangis tapi wajahnya kosong menatap sendu. Pandangannya menerawang mengingat keinginan terkahir sang pujaan hati bahwa ia ingin meninggal dalam pangkuan suaminya.


Hingga nenek benar-benar menghembuskan napas terakhirnya dalam tenang, kakek belum bisa mewujudkan keinginan terakhir sang istri tercinta. Ia hanya bisa mendekapnya, menciumnya, dan mengucapkan betapa ia mencintainya. Kakek tak ingin mengucapkan itu: salam perpisahan—yang baginya akan sangat menyayat hati. Ia yakin di suatu tempat yang jauh lebih indah, suatu hari nanti, mereka akan dipersua kembali.

***

Orang yang pergi biasanya meninggalkan wasiat-wasiat untuk yang masih hidup. Ada satu wasiat peninggalan nenek yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh kami; keluarga besarnya. Nenek dan kakek memiliki empat orang anak yang dari keseluruhannya memanenkan 25 orang cucu. Betapa bahagianya nenek dan kakek ketika kami semua tengah berkumpul bercengkrama. Tetapi saat ini, kebahagiaan itu hanya bisa dirasai oleh kakek, bahkan sebagian kebahagiaan itu hilang baginya, lebih karena nenek yang sudah tiada.


Nenek pergi dengan meninggalkan sebuah kotak berisikan seperangkat alat sholat. Kotak itu dihiasi pita kain berwarna perak dan renda merah muda. Pada tutupnya terukir gambar hati yang diberi plastik sehingga transparan terlihatnya. Di dalamnya tampak kain mukena bermotifkan bunga-bunga indah. Kain itu bersih, suci. Nampak baru dan selalu bercahaya. Itulah cahaya kebaikan nenek, yang dengan tulus hati menyiapkan itu semua untuk kebahagiaan suaminya kelak jika ia tiada.


Siapa yang tahu ajal, siapa yang tahu batas usia? Ternyata sakit nenek yang sudah empat bulan ini berujung pada rasa kehilangan yang amat mendalam di hati kami semua, terutama hati kakek. Tetapi nenek tidak menginginkan hal itu. Nenek tak ingin kakek berduka, sedih berkepanjangan, karena kepergiannya. Nenek tak ingin air mata suaminya menetes dan melukai sukma arwahnya. Ia hanya ingin kebahagiaan sang tambatan hati, dengan ataupun tanpa dia.


Seperti sebuah angan yang menjadi kenyataan, firasat nenek bahwa ia yang akan meninggalkan bahtera sakinah ini terlebih dahulu benar-benar terjadi. Tetapi janji nenek untuk membuat kakek bahagia tetap dipenuhinya meski ia sudah berada di alam lain. Nenek pernah berkata kepada kekek bahwa di kala senja usianya kini, ia tidak lagi bisa melayani kakek, memenuhi keinginannya, dan menjadi andalannya dalam menjalani kesehariannya—meski hatinya tetap bisa menjadi satu-satunya sandaran. Bagai mengulum tangkai mawar berduri yang masih segar, ia memberikan mawar itu kepada sang kekasih hati, dengan tulus beriring doa, sebagai tanda cintanya. Ia meminta kakek untuk bersedia menikah lagi.


Betapa sungguh keputusan semacam itu hanya bisa dilontarkan oleh wanita berhati suci. Jiwanya tak pernah dikotori dengan dengki. Mulutnya selalui dipenuhi nasihat-nasihat ilahi. Sukmanya dialiri dengan rasa kasih sayang pada keluarganya. Lantunan dzikir dan doa senantiasa mengalun pada lidahnya. Tak ada testimoni negatif dari orang-orang di sekitarnya tentang dirinya. Raut muka jasadnya tersenyum: bercahaya. Tak terbayang jelita wajahnya di alam baka sana.


Tak lama setelah semua duka cita itu mereda, tibalah saatnya kami semua melaksanakan wasiat nenek. Tepat pada hari ke seratus sepuluh meninggalnya nenek, kakek memilih seorang wanita solehah nan cantik untuk diperistrinya. Seorang nenek yang baik hati dengan tiga orang anak dan sembilan orang cucu. Wanita itu memang sudah terpilihkan dengan tepat oleh nenek sebelum meninggalnya. Dulu ketika di rumah sakit, nenek pernah berkata selepas bangun dari tidurnya, “Ini mah nini Neneng, ini mah nini Neneng, bukan nini Oko, jangan salah manggil, ya. Ini mah nini Neneng.” sambil menunjuk dirinya. Entah apa yang baru saja datang dalam mimpi nenek saat itu hingga beliau bisa berkata demikian. Kami anggap itu suatu pertanda, dan tanda itu memang benar-benar nyata sekarang.


Air mata bahagia tumpah ruah sesaat selepas ikrar janji suci itu dikumandangkan oleh Abah. Di sebuah masjid tempat dilangsungkannya pernikahan fenomenal sepanjang sejarah kehidupan keluarga besar kami, hampir seluruh sanak saudara yang hadir di situ menangis. Terlebih lagi kedua mempelai laki-laki dan perempuan. Mereka bagai dua insan yang terlahir kembali. Filosofi hari raya kembali fitri di sini benar-benar terjadi. Kakek dan nenek baruku saling memandang, tersenyum. Ketika Abah mendekap dan mencium istrinya dengan gembira, seketika tawa buncah memenuhi ruangan masjid yang cukup luas dengan empat tiang itu. Kami semua bersuka cita pada hari itu. Nenek di alam sana pasti turut tersenyum bahagia menyaksikan ini semua.


Selanjutnya, bahtera kehidupan Abah dan Nini Neneng kami angankan berlangsung dengan sakinah, mawaddah, wa rahmah. Kami yakin pertalian itu dilandasi oleh rasa cinta yang penuh kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh indah cerita yang dituliskan tinta-Nya bagi kehidupan kakek, nenek, nini Neneng, dan kami semua. Setelahnya, ini akan menjadi sebuah cerita yang panjang. Mudah-mudahan cerita ini akan berujung pada dikumpulkannya kembali keluarga kami di surga yang menawan kelak. Aamiin ya Tuhanku yang Maha Penyayang.

TIDAK TAMAT

Sabtu, 28 Februari 2015

Wajah Birokrasi Indonesia dalam Cerpen “Peci Ayah”-nya Satmoko Budi Santoso



            Semua orang tahu para penggede-penggede indonesia mendapatkan jabatannya pasti melalui berbagai cara, intrik, yang biar itu halus maupun kasar, mengedepankan yang namanya kemenangan. Suara terbanyak menjadi cita-cita sendiri bagi setiap manusia yang haus akan jabatan itu. Jalan mulus dan jalan berliku dilewati. Sesekali berbuat curang mereka tak perduli. Demi tahta dan harta untuk bisa dinikmati.
            Sudah jelas dari awalnya para petinggi itu mau mendapatkan jabatan saja sudah berlaku tidak adil, bagaimana mau memandu negeri ini? Kepada dirinya sendiri saja mereka sudah berlaku tak jujur, bagaimana bisa jujur kepada rakyat? Hal itu terjadi nyaris di semua lini. Nyaris, ya, saudara. Bukan  hampir. Karena itu, adakah secercah kepercayaan kepada segolongan kecil—sangat kecil—yang masih memiliki jiwa bersih dalam hatinya selama menjalani birokrasi? Percayalah itu masih ada. Dalam cerpen “Peci Ayah”, semuanya dengan unik dijelaskan.
            Seorang lelaki pasti kelak akan memangku jabatan baik itu menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, ketua RW, ketua RT, dan bahkan memangku jabatan sebagai “Ayah”. Ayah, yang siapapun pasti memilikinya, yang nama kita selalu dibuntutinya, yang nasab jelas terpahat darinya, akan menjadi panutan kita dalam berbagai hal. Jika ia mencoretkan tinta hitam perusak hidupnya, anaknya akan menambah coretan tersebut shingga menjadi semakin hancurlah gambar dalam kertas kehidupan keluarga. Jika dihapus atau bahkan tidak dicoret dengan tinta gelap manapun maka akan bersih pula apapun yang disalinkannya. Seorang ayah harus bisa menanamkan budi pekerti yang baik pada anaknya, salahsatunya seperti tokoh ayah dalam cerpen ini.
            Satu hal yang menjadi inti dari cerpen ini bahwa kebenaran, sampai kapanpun pasti akan terpancar cahayanya. Kebohongan dan kejujuran pasti akan kontras bedanya. Ada tangan yang menjalankan pola roda kehidupan untuk selalu berpihak pada kebenaran.
Peci, sebagai lambang kepala manusia yang menyimpan seribu ide-ide, baik maupun buruk. Tempat menyimpan segala yang dibutuhkannya dan kebenaran juga ada di kepalanya. Seiring berjalannya waktu semuanya pasti terungkap.
            Menganggap modernitas sebagai suatu yang gengsi sekarang juga terungkap dalam cerpen ini. Zaman sekarang yang sudah serba modern ini digambarkan oleh tokoh ibu sebagai kegiatan yang norak jika berurusan dengan peci, apalagi menaruh uang di lipatan peci. Tetapi ayah, bukan hanya menyimpan uang di lipatan pecinya melainkan sesuatu yang lebih penting, yang bisa menjadikan saksi nyata kalau ayah tidak tergusur oleh arus zaman yang kotor ini.
Unsur Intrinsik Cerpen
            Tema besar dalam cerpen ini tentang politik. Politik identik dengan jabatan dan birokrasi, meskipun tidak semua bait dalam cerpen ini mengandung tema politik. Sebagian besar membahas tentang peci, tapi peci di sini itu simbol kejujuran yang masih tersimpan di dalam kepala orang yang baik dan arif. Juga ada tema tentang keluarga di situ yang diterangkan mengenai kebiasaan-kebiasaannya dan sedikit bumbu pertengkarang kecil dan diselingi gelak tawa.
            Alur dalam cerpen ini adalah maju-mundur. Pertama menjelaskan tentang kebiasaan kakeknya si tokoh aku yang sering menggunakan peci kemana-mana. Berarti ini mundur dulu ke zaman sebelum kakek meninggal dan bahkan si tokoh aku masih kanak-kanak. Kemudian alur maju menceritakan keadaan sekarang si tokoh aku sudah besar dan sudah berkeluarga hingga pergi umroh. Dari sejak diceritakan mengenai pembersihan caleg di tempat tinggal si tokoh aku, alur cerita menjadi jelas kembali untuk bercerita, bukan sekedar memberitahu situasi.
            Yang menjadi latar dari cerpen ini adalah rumah, dan balai tempat rapat, juga makkah kota suci. Latar waktu tidak begitu kentara diceritakan karena terkadang hanya menjelaskan kejadian yang telah berlalu atau kebiasaan yang pernah ada, tetapi jarang menceritakan hal yang sedang terjadi. Jadi waktunya pagi, siang, atau sore, tidak begitu dijelaskan.
            Tokoh dalam ada cerpen ini ada beberapa orang di antaranya kakek si aku, ayah si aku, ibu si aku, warga RT, dan para caleg. Tokoh utama di sini adalah ayah, tapi ayah adalah kata yang perlu digambarkan dulu kondisi sebelumnya: bahwa dalam cerita ini ada tokoh ayah tentunya sudah digambarkan sebelumnya bahwa ada tokoh aku yang bukan menjadi tokoh utama tetapi tokoh pembantu.
            Sudut pandang yang dipakai dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang pertama serba tahu karena sejak awal sudah menonjolkan kata-kata yang keluar dari pikiran si aku. Juga hanya isi pikiran aku yang diceritakan dalam cerpen ini, bukan isi pikiran siapa-siapa.

Tanggapan Membaca Cerpen “Robohnya Surau Kami” Karya A.A. Navis



a.      Alur Cerita
Secara garis besar, alur cerita dalam cerpen ini adalah mundur. Diawali dengan klausa “Kalau beberapa tahun lalu Tuan datang….” itu menunjukan peristiwa teraktual yang terjadi sebelum “inti” dari semua kisah ini dipaparkan. Setelah penjelasan situasi, baru diceritakan bagaimana mulai timbulnya konflik cerita inti yang terjadi di masa lampau. Si tokoh utama yang mulai dieksiskan penulis, dengan simbol surau tua yang sudah hampir roboh, itu menjadi maskot utama cerita ini. Maskot yang selalu membayangi semasa membaca keseluruhan cerpen ini. Alur mundur dikonkritkan pula dalam ungkapan di paragraf ke lima : “Kalau Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai…” jadi itu menunjukan ungkapan kekinian di kisah itu.
Dalam menentukan alur cerita, perlu diketahui apa sudut pandang yang penulis buat untuk cerita tersebut. Di cerpen “Robohnya Surau Kami”, A.A. Navis menggunakan sudut pandang orang pertama. Sudut pandang orang pertama ini diwujudkan dalam penyebutan tokoh “Aku” yang kuat membingkai cerita ini di permulaan cerita dan di akhir cerita. Kita harus mengikuti bagaimana si tokoh “Aku” ini memaparkan cerita. Si tokoh “Aku” menceritakan kejadian yang dulu yang pernah terjadi. Jadi dapat dikatakan alur cerita ini adalah mundur, bukan maju, bukan juga campuran.
Alur mundur juga dibuktikan dengan tidak adanya lagi kejadian bersifat kronologis yang diceritakan setelah si tokoh “Aku” bernarasi pada awal cerita. Situasi dan kondisi ketika membaca cerpen ini bisa sambil membayangkan si tokoh “Aku” yang sedang duduk manis sambil bercerita semuanya. Setelah selesai diceritakannya kisah Ajo Sidi, si tokoh “Aku” menceritakan betapa ia terkejut mendengar kabar Kakek meninggal. Tapi itu tetap bukan menunjukkan bahwa alur ini kembali maju menjadi campuran. Itu karena sudah dinyatakan pula di paragraph ke empat :
“Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang.”
Itu artinya, sejak awal si tokoh Aku memang sudah menunjukan bahwa ia tahu kakek sudah meninggal.
b.      Tema Cerpen
Tema cerpen ini adalah sindiran atau satire. Bentuk sindiran itu diberikan telak bagi masyarakat Indonesia yang mengira kalau menjadi hamba Tuhan bukan sekonyol itu caranya. Cerpen ini juga menyentil segi agama atau religiositas. Nuansa religius sudah tergambarkan dari judul yang menyebut “Surau” : tempat ibadah, lambang kesucian. Tempat si tokoh “kakek” menghabiskan seluruh sisa hidupnya dan berandai-andai masuk ke tempat terindah yang dijanjikan Tuhan. Padahal nyatanya tidak.
Dalam cerpen ini, A.A. Navis ingin meneriakkan bahwa sejatinya perintah agama itu bukan hanya sekedar beribadah mematut diri di dalam surau dan berdzikir, tetapi bersosialisasi dan mengurus bumi tempat berdiri adalah juga kewajiban bagi umat manusia. Lebih dari itu, perintah agama juga bukan hanya membantu orang lain dengan ikhlas dan mengharap balasan di akhirat saja, tetapi juga harus mengurusi kehidupan di dunia: bagaimana makannya, mencari nafkahnya, dan sebagainya. Betapa cerpen ini membuka mata dengan jelas bahwa dunia memang tidak terlepas dari akhirat. Dan tidak ada yang tidak bisa memungkiri itu, sesungguhnya.
Cerpen ini menjadi terkenal setelah diberi penghargaan sastra majalah Kisah tahun 1955. Fenomena seperti diceritakan di cerpen “Robohnya Surau Kami” ini merupakan fenomena teraktual yang banyak terjadi di situasi masyarakat dewasa ini. Tidak heran karya ini selalu menjadi primadona dengan diwajibkannya dipelajari di sekolah-sekolah sejak dini. 
c.       Biografi A.A. Navis
A.A. Navis adalah seorang sastrawan Indonesia asal Sumatera Barat kelahiran tahun 1924. Prinsipnya menulis bukan untuk mencari ketenaran tetapi untuk satu visi yang jelas: memperjuangkan agamanya yaitu islam. Hal ini terlihat jelas dalam karya-karyanya yang kebanyakan bertemakan islam dan tak jarang mendapatkan penghargaan-penghargaan sastra dari berbagai institusi. Ini menunjukkan kualiatas dan produktivitas sastrawan yang dapat diacungi jempol melalui karya-karya fenomenalnya.
Dahulu ketika kecil, ayahnya selalu membeli majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat yang keduanya bertemakan islam. Dari situ Navis kecil mulai membaca dan belajar memahami apa sesungguhnya yang menjadi “pedoman” hidup sejati bagi manusia. Semua resepsi pemahamannya ia tuangkan dalam bentuk cerita. Memang, kreatifitas seni A.A. Navis sudah tidak diragukan lagi
Ia bukan termasuk warga Sumatra yang senang merantau. Tidak seperti kebanyakan, A.A. Navis memilih untuk bersekolah di Indonesisch Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutaman selama 11 tahun. Semasa bersekolah itulah ia rajin membeli dan membaca buku-buku sastra, belajar kesenian, juga keterampilan. Karena itulah kecerdasan seni A.A. Navis sungguh luar biasa.
AA Navis sebenarnya adalah seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”. A.A. Navis juga pernah menjadi pemimpin redaksi harian Semangat (harian angkat­an bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club). Di samping itu, A.A. Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan budaya, sebagai pemakalah atau peserta.
Sastrawan bernama lengkap Ali Akbar Navis ini menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 2013 karena komplikasi dan penyakit jantung. Meskipun ia wafat karya-karyanya tetap abadi seperti “Robohnya Surau Kami”, Kemarau (1992), Saraswati Si Gadis dalarn Sunyi, (1970), dan lain lain. Beliau juga telah membuat karya-karya non fiksi seperti Surat-Surat Drama, Budaya, Hamka sebagai Pengarang Roman, Berita Bibliografi, Warna Lokal dalam Novel Minangkabau, Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra, Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan Sebagai Ladang Hidup, Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern, dan masih banyak lagi.
Karya-karya itu tidak sedikit yang beruntung disematkan gelar penghargaan sastra dari berbagai institusi.