a.
Alur Cerita
Secara garis besar, alur cerita dalam cerpen
ini adalah mundur. Diawali dengan klausa “Kalau
beberapa tahun lalu Tuan datang….” itu menunjukan peristiwa teraktual yang
terjadi sebelum “inti” dari semua kisah ini dipaparkan. Setelah penjelasan
situasi, baru diceritakan bagaimana mulai timbulnya konflik cerita inti yang
terjadi di masa lampau. Si tokoh utama yang mulai dieksiskan penulis, dengan
simbol surau tua yang sudah hampir roboh, itu menjadi maskot utama cerita ini.
Maskot yang selalu membayangi semasa membaca keseluruhan cerpen ini. Alur
mundur dikonkritkan pula dalam ungkapan di paragraf ke lima : “Kalau Tuan
datang sekarang, hanya akan
menjumpai…” jadi itu menunjukan ungkapan kekinian di kisah itu.
Dalam menentukan alur cerita, perlu diketahui
apa sudut pandang yang penulis buat untuk cerita tersebut. Di cerpen “Robohnya
Surau Kami”, A.A. Navis menggunakan sudut pandang orang pertama. Sudut pandang
orang pertama ini diwujudkan dalam penyebutan tokoh “Aku” yang kuat membingkai
cerita ini di permulaan cerita dan di akhir cerita. Kita harus mengikuti
bagaimana si tokoh “Aku” ini memaparkan cerita. Si tokoh “Aku” menceritakan
kejadian yang dulu yang pernah terjadi. Jadi dapat dikatakan alur cerita ini
adalah mundur, bukan maju, bukan juga campuran.
Alur mundur juga dibuktikan dengan tidak
adanya lagi kejadian bersifat kronologis yang diceritakan setelah si tokoh
“Aku” bernarasi pada awal cerita. Situasi dan kondisi ketika membaca cerpen ini
bisa sambil membayangkan si tokoh “Aku” yang sedang duduk manis sambil
bercerita semuanya. Setelah selesai diceritakannya kisah Ajo Sidi, si tokoh
“Aku” menceritakan betapa ia terkejut mendengar kabar Kakek meninggal. Tapi itu
tetap bukan menunjukkan bahwa alur ini kembali maju menjadi campuran. Itu
karena sudah dinyatakan pula di paragraph ke empat :
“Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang.”
Itu artinya, sejak awal si tokoh Aku memang
sudah menunjukan bahwa ia tahu kakek sudah meninggal.
b. Tema
Cerpen
Tema cerpen ini adalah sindiran atau satire.
Bentuk sindiran itu diberikan telak bagi masyarakat Indonesia yang mengira
kalau menjadi hamba Tuhan bukan sekonyol itu caranya. Cerpen ini juga menyentil
segi agama atau religiositas. Nuansa religius sudah tergambarkan dari judul
yang menyebut “Surau” : tempat ibadah, lambang kesucian. Tempat si tokoh
“kakek” menghabiskan seluruh sisa hidupnya dan berandai-andai masuk ke tempat
terindah yang dijanjikan Tuhan. Padahal nyatanya tidak.
Dalam cerpen ini, A.A. Navis ingin
meneriakkan bahwa sejatinya perintah agama itu bukan hanya sekedar beribadah
mematut diri di dalam surau dan berdzikir, tetapi bersosialisasi dan mengurus
bumi tempat berdiri adalah juga kewajiban bagi umat manusia. Lebih dari itu,
perintah agama juga bukan hanya membantu orang lain dengan ikhlas dan mengharap
balasan di akhirat saja, tetapi juga harus mengurusi kehidupan di dunia:
bagaimana makannya, mencari nafkahnya, dan sebagainya. Betapa cerpen ini
membuka mata dengan jelas bahwa dunia memang tidak terlepas dari akhirat. Dan
tidak ada yang tidak bisa memungkiri itu, sesungguhnya.
Cerpen ini menjadi terkenal setelah diberi
penghargaan sastra majalah Kisah
tahun 1955. Fenomena seperti diceritakan di cerpen “Robohnya Surau Kami” ini
merupakan fenomena teraktual yang banyak terjadi di situasi masyarakat dewasa
ini. Tidak heran karya ini selalu menjadi primadona dengan diwajibkannya
dipelajari di sekolah-sekolah sejak dini.
c. Biografi
A.A. Navis
A.A. Navis adalah seorang sastrawan Indonesia
asal Sumatera Barat kelahiran tahun 1924. Prinsipnya menulis bukan untuk
mencari ketenaran tetapi untuk satu visi yang jelas: memperjuangkan agamanya
yaitu islam. Hal ini terlihat jelas dalam karya-karyanya yang kebanyakan
bertemakan islam dan tak jarang mendapatkan penghargaan-penghargaan sastra dari
berbagai institusi. Ini menunjukkan kualiatas dan produktivitas sastrawan yang
dapat diacungi jempol melalui karya-karya fenomenalnya.
Dahulu ketika kecil, ayahnya selalu membeli
majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat yang keduanya
bertemakan islam. Dari situ Navis kecil mulai membaca dan belajar memahami apa
sesungguhnya yang menjadi “pedoman” hidup sejati bagi manusia. Semua resepsi
pemahamannya ia tuangkan dalam bentuk cerita. Memang, kreatifitas seni A.A.
Navis sudah tidak diragukan lagi
Ia bukan termasuk warga Sumatra yang senang
merantau. Tidak seperti kebanyakan, A.A. Navis memilih untuk bersekolah di Indonesisch Nederiandsch School (INS) di daerah
Kayutaman selama 11 tahun. Semasa bersekolah itulah ia rajin membeli dan
membaca buku-buku sastra, belajar kesenian, juga keterampilan. Karena itulah
kecerdasan seni A.A. Navis sungguh luar biasa.
AA Navis sebenarnya adalah
seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa
(pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan
Terbaru”. A.A. Navis juga pernah menjadi pemimpin redaksi harian Semangat (harian angkatan bersenjata
edisi Padang), Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan
Sumatera Barat (Padang Club). Di samping itu, A.A. Navis juga sering menghadiri
berbagai seminar masalah sosial dan budaya, sebagai pemakalah atau peserta.
Sastrawan bernama lengkap Ali Akbar Navis ini
menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 2013 karena komplikasi dan penyakit
jantung. Meskipun ia wafat karya-karyanya tetap abadi seperti “Robohnya Surau
Kami”, Kemarau (1992), Saraswati Si Gadis dalarn
Sunyi, (1970), dan lain lain. Beliau juga telah
membuat karya-karya non fiksi seperti Surat-Surat Drama, Budaya, Hamka sebagai Pengarang Roman, Berita Bibliografi, Warna Lokal dalam Novel
Minangkabau, Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra, Kepenulisan Belum Bisa Diandalkan Sebagai Ladang Hidup, Menelaah Orang Minangkabau dari Novel Indonesia Modern, dan masih banyak lagi.
Karya-karya itu tidak sedikit yang beruntung
disematkan gelar penghargaan sastra dari berbagai institusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar