Semua orang tahu para
penggede-penggede indonesia mendapatkan jabatannya pasti melalui berbagai cara,
intrik, yang biar itu
halus maupun kasar, mengedepankan yang namanya kemenangan. Suara terbanyak
menjadi cita-cita sendiri bagi setiap manusia yang haus akan jabatan itu. Jalan
mulus dan jalan berliku dilewati. Sesekali berbuat curang mereka tak perduli.
Demi tahta dan harta untuk bisa dinikmati.
Sudah jelas dari awalnya para
petinggi itu mau mendapatkan jabatan saja sudah berlaku tidak adil, bagaimana
mau memandu negeri ini?
Kepada dirinya sendiri saja mereka
sudah berlaku tak jujur, bagaimana bisa jujur kepada rakyat? Hal itu terjadi
nyaris di semua lini. Nyaris, ya,
saudara. Bukan hampir. Karena itu,
adakah secercah kepercayaan kepada segolongan kecil—sangat kecil—yang masih
memiliki jiwa bersih dalam hatinya selama menjalani birokrasi? Percayalah itu
masih ada. Dalam cerpen “Peci Ayah”, semuanya dengan unik dijelaskan.
Seorang lelaki pasti kelak akan
memangku jabatan baik itu menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat,
lurah, ketua RW, ketua RT, dan bahkan memangku jabatan sebagai “Ayah”. Ayah,
yang siapapun pasti memilikinya, yang nama kita selalu dibuntutinya, yang nasab
jelas terpahat darinya, akan menjadi panutan kita dalam berbagai hal. Jika ia
mencoretkan tinta hitam perusak hidupnya, anaknya akan menambah coretan
tersebut shingga menjadi semakin hancurlah gambar dalam kertas kehidupan keluarga.
Jika dihapus atau bahkan tidak dicoret dengan tinta gelap manapun maka akan
bersih pula apapun yang disalinkannya. Seorang ayah harus bisa menanamkan budi
pekerti yang baik pada anaknya, salahsatunya seperti tokoh ayah dalam cerpen
ini.
Satu hal yang menjadi inti dari
cerpen ini bahwa kebenaran, sampai kapanpun pasti akan terpancar cahayanya. Kebohongan dan
kejujuran pasti akan kontras bedanya. Ada tangan yang menjalankan pola roda
kehidupan untuk selalu berpihak pada kebenaran.
Peci,
sebagai lambang kepala manusia yang menyimpan seribu ide-ide, baik maupun
buruk. Tempat menyimpan segala yang dibutuhkannya dan kebenaran juga ada di
kepalanya. Seiring berjalannya waktu semuanya pasti terungkap.
Menganggap
modernitas sebagai suatu yang gengsi sekarang juga terungkap dalam cerpen ini.
Zaman sekarang yang sudah serba modern ini digambarkan oleh tokoh ibu sebagai
kegiatan yang norak jika berurusan dengan peci, apalagi menaruh uang di lipatan
peci. Tetapi ayah, bukan hanya menyimpan uang di lipatan pecinya melainkan
sesuatu yang lebih penting, yang bisa menjadikan saksi nyata kalau ayah tidak
tergusur oleh arus zaman yang kotor ini.
Unsur
Intrinsik Cerpen
Tema
besar dalam cerpen ini tentang politik. Politik identik dengan jabatan dan
birokrasi, meskipun tidak semua bait dalam cerpen ini mengandung tema politik.
Sebagian besar membahas tentang peci, tapi peci di sini itu simbol kejujuran
yang masih tersimpan di dalam kepala orang yang baik dan arif. Juga ada tema tentang
keluarga di situ yang diterangkan mengenai kebiasaan-kebiasaannya dan sedikit
bumbu pertengkarang kecil dan diselingi gelak tawa.
Alur
dalam cerpen ini adalah maju-mundur. Pertama menjelaskan tentang kebiasaan
kakeknya si tokoh aku yang sering menggunakan peci kemana-mana. Berarti ini
mundur dulu ke zaman sebelum kakek meninggal dan bahkan si tokoh aku masih
kanak-kanak. Kemudian alur maju menceritakan keadaan sekarang si tokoh aku
sudah besar dan sudah berkeluarga hingga pergi umroh. Dari sejak diceritakan
mengenai pembersihan caleg di tempat tinggal si tokoh aku, alur cerita menjadi
jelas kembali untuk bercerita, bukan sekedar memberitahu situasi.
Yang
menjadi latar dari cerpen ini adalah rumah, dan balai tempat rapat, juga makkah
kota suci. Latar waktu tidak begitu kentara diceritakan karena terkadang hanya
menjelaskan kejadian yang telah berlalu atau kebiasaan yang pernah ada, tetapi
jarang menceritakan hal yang sedang terjadi. Jadi waktunya pagi, siang, atau
sore, tidak begitu dijelaskan.
Tokoh
dalam ada cerpen ini ada beberapa orang di antaranya kakek si aku, ayah si aku,
ibu si aku, warga RT, dan para caleg. Tokoh utama di sini adalah ayah, tapi
ayah adalah kata yang perlu digambarkan dulu kondisi sebelumnya: bahwa dalam
cerita ini ada tokoh ayah tentunya sudah digambarkan sebelumnya bahwa ada tokoh
aku yang bukan menjadi tokoh utama tetapi tokoh pembantu.
Sudut
pandang yang dipakai dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang pertama serba
tahu karena sejak awal sudah menonjolkan kata-kata yang keluar dari pikiran si
aku. Juga hanya isi pikiran aku yang diceritakan dalam cerpen ini, bukan isi
pikiran siapa-siapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar