Sabtu, 28 Februari 2015

Wajah Birokrasi Indonesia dalam Cerpen “Peci Ayah”-nya Satmoko Budi Santoso



            Semua orang tahu para penggede-penggede indonesia mendapatkan jabatannya pasti melalui berbagai cara, intrik, yang biar itu halus maupun kasar, mengedepankan yang namanya kemenangan. Suara terbanyak menjadi cita-cita sendiri bagi setiap manusia yang haus akan jabatan itu. Jalan mulus dan jalan berliku dilewati. Sesekali berbuat curang mereka tak perduli. Demi tahta dan harta untuk bisa dinikmati.
            Sudah jelas dari awalnya para petinggi itu mau mendapatkan jabatan saja sudah berlaku tidak adil, bagaimana mau memandu negeri ini? Kepada dirinya sendiri saja mereka sudah berlaku tak jujur, bagaimana bisa jujur kepada rakyat? Hal itu terjadi nyaris di semua lini. Nyaris, ya, saudara. Bukan  hampir. Karena itu, adakah secercah kepercayaan kepada segolongan kecil—sangat kecil—yang masih memiliki jiwa bersih dalam hatinya selama menjalani birokrasi? Percayalah itu masih ada. Dalam cerpen “Peci Ayah”, semuanya dengan unik dijelaskan.
            Seorang lelaki pasti kelak akan memangku jabatan baik itu menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, ketua RW, ketua RT, dan bahkan memangku jabatan sebagai “Ayah”. Ayah, yang siapapun pasti memilikinya, yang nama kita selalu dibuntutinya, yang nasab jelas terpahat darinya, akan menjadi panutan kita dalam berbagai hal. Jika ia mencoretkan tinta hitam perusak hidupnya, anaknya akan menambah coretan tersebut shingga menjadi semakin hancurlah gambar dalam kertas kehidupan keluarga. Jika dihapus atau bahkan tidak dicoret dengan tinta gelap manapun maka akan bersih pula apapun yang disalinkannya. Seorang ayah harus bisa menanamkan budi pekerti yang baik pada anaknya, salahsatunya seperti tokoh ayah dalam cerpen ini.
            Satu hal yang menjadi inti dari cerpen ini bahwa kebenaran, sampai kapanpun pasti akan terpancar cahayanya. Kebohongan dan kejujuran pasti akan kontras bedanya. Ada tangan yang menjalankan pola roda kehidupan untuk selalu berpihak pada kebenaran.
Peci, sebagai lambang kepala manusia yang menyimpan seribu ide-ide, baik maupun buruk. Tempat menyimpan segala yang dibutuhkannya dan kebenaran juga ada di kepalanya. Seiring berjalannya waktu semuanya pasti terungkap.
            Menganggap modernitas sebagai suatu yang gengsi sekarang juga terungkap dalam cerpen ini. Zaman sekarang yang sudah serba modern ini digambarkan oleh tokoh ibu sebagai kegiatan yang norak jika berurusan dengan peci, apalagi menaruh uang di lipatan peci. Tetapi ayah, bukan hanya menyimpan uang di lipatan pecinya melainkan sesuatu yang lebih penting, yang bisa menjadikan saksi nyata kalau ayah tidak tergusur oleh arus zaman yang kotor ini.
Unsur Intrinsik Cerpen
            Tema besar dalam cerpen ini tentang politik. Politik identik dengan jabatan dan birokrasi, meskipun tidak semua bait dalam cerpen ini mengandung tema politik. Sebagian besar membahas tentang peci, tapi peci di sini itu simbol kejujuran yang masih tersimpan di dalam kepala orang yang baik dan arif. Juga ada tema tentang keluarga di situ yang diterangkan mengenai kebiasaan-kebiasaannya dan sedikit bumbu pertengkarang kecil dan diselingi gelak tawa.
            Alur dalam cerpen ini adalah maju-mundur. Pertama menjelaskan tentang kebiasaan kakeknya si tokoh aku yang sering menggunakan peci kemana-mana. Berarti ini mundur dulu ke zaman sebelum kakek meninggal dan bahkan si tokoh aku masih kanak-kanak. Kemudian alur maju menceritakan keadaan sekarang si tokoh aku sudah besar dan sudah berkeluarga hingga pergi umroh. Dari sejak diceritakan mengenai pembersihan caleg di tempat tinggal si tokoh aku, alur cerita menjadi jelas kembali untuk bercerita, bukan sekedar memberitahu situasi.
            Yang menjadi latar dari cerpen ini adalah rumah, dan balai tempat rapat, juga makkah kota suci. Latar waktu tidak begitu kentara diceritakan karena terkadang hanya menjelaskan kejadian yang telah berlalu atau kebiasaan yang pernah ada, tetapi jarang menceritakan hal yang sedang terjadi. Jadi waktunya pagi, siang, atau sore, tidak begitu dijelaskan.
            Tokoh dalam ada cerpen ini ada beberapa orang di antaranya kakek si aku, ayah si aku, ibu si aku, warga RT, dan para caleg. Tokoh utama di sini adalah ayah, tapi ayah adalah kata yang perlu digambarkan dulu kondisi sebelumnya: bahwa dalam cerita ini ada tokoh ayah tentunya sudah digambarkan sebelumnya bahwa ada tokoh aku yang bukan menjadi tokoh utama tetapi tokoh pembantu.
            Sudut pandang yang dipakai dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang pertama serba tahu karena sejak awal sudah menonjolkan kata-kata yang keluar dari pikiran si aku. Juga hanya isi pikiran aku yang diceritakan dalam cerpen ini, bukan isi pikiran siapa-siapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar