Minggu, 27 Juli 2025

Puskesmas Tanpa Dokter

Jawaban Pertanyaan Soal Seleksi Studi Kasus PM 13 tentang Puskesmas Tanpa Dokter

Oleh: Maryam Fathimiy, calon pengabdi muda Arah Pemuda Indonesia


PERTANYAAN

TOPIK: Tingginya Jumlah Puskesmas Tanpa Dokter di Nusa Tenggara Timur.*
Latar Belakang:
Kurangnya tenaga dokter di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi tantangan serius dalam sektor kesehatan. Hal ini berdampak pada keterbatasan layanan medis di berbagai daerah, terutama di wilayah terpencil. Kondisi ini berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai.

Pertanyaan:
  1. Bagaimana pendapat Anda mengenai permasalahan tingginya jumlah Puskesmas tanpa dokter di NTT? Apa dampak utama yang dapat ditimbulkan bagi masyarakat?
  2. Mengapa jumlah tenaga kesehatan di NTT jauh lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian barat? Sebutkan faktor-faktor utama menurut Anda yang menyebabkan ketimpangan ini.
  3. Jika Anda menjadi tim Pengabdi Muda dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat kepada pemerintah setempat, program apa yang akan Anda usulkan untuk mengatasi permasalahan ini? Jelaskan dengan pendekatan yang konkret dan aplikatif!
Gambar Tanpa Teks


JAWABAN SAYA

jawaban no 1

 1. Menurut saya, tingginya jumlah puskesmas tanpa dokter di wilayah NTT sangat memprihatinkan. Hal ini menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan akses kesehatan yang memadai. Jika ada penyakit yang parah, pasien harus dirujuk ke rumah sakit besar yang jaraknya jauh dari NTT seperti ke rumah sakit di Mataram atau bahkan Surabaya. Dalam sebuah kuliah umum yang pernah saya ikuti pada 2016 lalu, Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Ahmad, dr. menyampaikan bahwa lulusan kedokteran Unpad akan ditempatkan berdinas di daerah 3T di seluruh Indonesia. Ini menindaklanjuti digratiskannya program kuliah S1 Kedokteran Unpad pada waktu itu. Hal ini tentu menjadi harapan yang baik terhadap berkurangnya angka puskesmas tanpa dokter di wilayah NTT. Akan tetapi, saya sendiri belum mengetahui kefektifan program tersebut dan belum tahu bagaimana kelanjutannya. Sepengetahuan saya dari seorang teman dokter, hanya sebagian kecil saja lulusan kedokteran Unpad yang mau ditempatkan di daerah 3T. Teman saya sendiri tidak pergi ke daerah setelah lulus.


jawaban no 2

2. Hal-hal yang menyebabkan ketimpangan angka puskesmas tanpa dokter di wilayah NTT yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian barat menurut saya disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: 

- Minimnya minat masyarakat terhadap dunia kedokteran atau kesehatan secara umum

- Minimnya alat kesehatan yang memadai

- Tingkat pendidikan yang masih rendah 

- Keterbatasan bahasa pengantar 

- Kesenjangan Pembangunan infrastruktur antara Indonesia barat dan Indonesia Timur

- Budaya, pola hidup, dan cuaca 


jawaban no 3

3. Jika saya terpilih menjadi pengabdi muda, saya akan mengusulkan kepada pemerintah setempat untuk mendanai program penyusunan kamus saku kecil berjudul KAMUS KESEHATAN BAHASA DAERAH NUSA TENGGARA TIMUR (NTT) KE BAHASA INDONESIA. Contohnya Kamus Kesehatan bahasa Ende-Indonesia, atau bahasa Alor-Indonesia, bahasa Rote-Indonesia dan bahasa daerah lain yang ada. Memang membuat kamus tidak 1-2 hari. Dibutuhkan penelitian yang empiris dan kongres bahasa oleh para ahli leksikologi untuk dapat menyelesaikan semuanya.

Minimnya dokter di puskesmas NTT memunculkan kebutuhan untuk mendatangkan tenaga dokter dari luar provinsi NTT. Akan tetapi, permasalahan bahasa dalam komunikasi adalah hal kecil berdampak besar, terutama dalam hal kesehatan. Berdasarkan cerita pengalaman teman saya yang berprofesi sebagai dokter, saat mereka koas ke daerah-daerah, kendala utama dalam bertugas adalah bahasa. Bahasa pengantar sehari-hari pasien/warga berbeda dengan bahasa yang dipahami dokter. Para lansia di NTT yang berusia di atas 60 tahun kebanyakan sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia, lalu bagaimana mereka menjelaskan kepada dokter pendatang tentang penyakitnya itu? Mereka berobat mengeluhkan penyakitnya kepada dokter-yang-hanya-paham-bahasa-Indonesia menggunakan bahasa daerah. Tentunya hal ini menimbulkan masalah dalam penegakan diagnosis penyakit dan efektifitas waktu. mereka (dokter dan pasien) harus mengobrol lebih lama saat konsultasi dan bisa jadi muncul keragu-raguan karena masalah bahasa.

Dengan adanya kamus saku kesehatan, para dokter dari luar provinsi dibekali kecakapan multibahasa untuk dapat memudahkan mereka selama bertugas di daerah NTT. Saya ingin membuat aksi kecil yang cukup berdampak nyata bagi ketersediaan dokter di puskesmas NTT.

Saya ada pengalaman pribadi yang menarik terkait ini saat saya sedang menjadi relawan Aksi untuk Lombok pada 2018 lalu, masyarakat yang sakit dan berobat ke tim medis menyampaikan keluhannya menggunakan bahasa daerah Sasak, yang mana kami sebagai relawan tidak memahaminya. Di beberapa dusun di Lombok Utara yang pernah saya kunjungi, anak kecil berusia di bawah 7 tahun dan orang tua di atas 60 tahun tidak mampu berbahasa Indonesia sama sekali. Mereka menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa komunikasi utama sehari-harinya. Hanya orang-orang berusia antara 7 sampai 60 tahun yang mampu berbahasa Indonesia. Ini menimbulkan masalah jika ada orang luar seperti relawan atau pemangku kebijakan yang mau hadir membantu masalah-masalah di sana, menjadi terhambat karena membutuhkan penerjemah yang berusia antara 7 sampai 60 tahun yang bisa berbahasa Indonesia. Dengan adanya kamus Sasak-Indonesia, masyarakat berusia produktif yang muda dapat menyampaikan aspirasinya ke pihak luar jika mengambil sumber primer dari orang tua berusia >60 tahun. Terutama dalam hal kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar