Sabtu, 11 Januari 2014

Cerpen : Di Langit Adelaide



Di Langit Adelaide
Percaya atau tidak, aku membenci ibuku. Dialah orang ku benci dengan alasan mencintainya. Dia adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Tapi sesungguhnya aku enggan memilikinya. Namaku Elza. Aku adalah anak tunggal dari seorang direktur utama sebuah majalah fashion terkemuka di negara ini, dan seorang ibu rumah tangga yang kerjaannya arisan setiap minggunya. Mereka bercerai ketika umurku 7 tahun.. Saat aku baru mulai mengenal siapa diriku. Saat aku mulai mengingat kasih sayang yang setiap orang berikan padaku. Yang ku rasa tidak ada sama sekali.
Ibuku pergi meninggalkanku begitu saja. Pesannya, dia meninggalkanku karena menyayangiku. Pesannya, dia hendak membiarkan ku hidup bersama ayah agar hidupku terjamin. Pesannya, ibuku takan mampu membahagiakanku karena keterbatasan jaminanku dimasa depan setelah bercerai dari ayahku. Inti pesannya ialah, dia mencintaiku. Tanpa pilihan, ku menerima ‘pesannya’ itu. Dan tanpa pilihan ku turut mencintainya dengan kebencian yang menggebu-gebu. Sebagai seorang anak, tak ada satupun yang bahagia ditinggalkan seorang ibu yang melahirkannya. Dan itu yang menjadi alasanku membencinya, walaupun ku tetap mencintainya. Sedikit yang tersisa.
Ayahku baru saja pergi meninggalkanku ke surga. Seminggu yang lalu. Tepat dihari ulang tahunku yang ke 18. Oh Tuhan, ku sungguh mencintainya. Ku percaya Kaupun mencintainya. Karena dengan memanggilnya, menandakan kau begitu merindukannya. Dan membiarkan sekarang ku yang merindukannya. Dia adalah orang yang begitu spesial. Dan aku merasa sangat beruntung menjadi anaknya. Seberuntung aku diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pergelaran di bawah langit Adelaide. Sungguh beruntung. Dan layaknya hidup, keberuntungan memang datang silihberganti. Dan keberuntungan terbesarku sekarang telah pergi.
Kini ku hanya memiliki ibuku. Telah 11 tahun ku enggan bertemu dengan nya. Dengan alasan yang sama.  Karya-karyaku banyak menyiratkan tentangnya. Lukisanku yang berjudul “Rahim” dipentaskan dalam sebuah pameran seni di Adelaide, Australia. Di saat kebahagiaan ini ingin kubagi dengan ayahku, tak disangka kiamat kecil itu datang.  Akupun bimbang, tak tahu harus kemana. Haruskah aku pulang menemui ibuku yang sekarang entah dimana. Tapi mungkin itu mustahil dengan semua yang telah terjadi selama ini. Gengsi yang sangat tinggi kurasa. Dikarenakan rasa benci itu.
Selama seminggu sudah hari-hariku diselimuti awan mendung. Aku belum bisa pulang ke Indonesia karena berbagai hal teknis, disamping aku belum  mampu menahan sesaknya dada ini karena semua yang terjadi. Aku jadi membenci hidupku.
Dan samasekali aku tidak membuat keputusan untuk pulang. Aku tetap melanjutkan sekolahku di kota ini. Aku terlanjur mencintai kota ini. Tidak ada bayang-bayang masalah kehidupan, pertengkaran, perseteruan, yang dulu pernah mencemari masa kecilku. Di sini, aku bertemu teman-teman dari berbagai belahan dunia yang bisa membuat aku ceria. Tekadku kuat. Tidak ingin membuat ayah kecewa dengan keputusannya menyekolahkanku di negeri orang sejak tingkat sekolah menengah. Dulu, aku sangat bersemangat dan aku merasa ini bentuk kasih sayang ayah padaku. Tapi semakin lama aku menyadari alasan mengapa ayah melakukan ini padaku. Sebuah kesibukan yang mengalahkan cinta keluarga. Hingga aku bertanya pada diriku sendiri : masihkah aku berharga di hadapan kedua orangtuaku??
Melukis. Mengalihkanku dari semua derita ini. Kusibukkan diriku dengan kembali melukis. Tak kusadari ternyata lukisankusetelah  ayah pergibanyak  menyiratkan luka, kegelapan, dan kepedihan. Goresan warna hitam begitu kasar membelah kanvas. Lebih sering aku melukis sambil menangis.
Apakah ibu tahu tentang kematian ayah? Seberapa pedulikah ibu dengan ayah? Jangankan ayahorang yang mungkin telah menggoreskan luka yang begitu dalam bagi hidupnyaaku sendiri buah dagingnya tidak dihiraukannya.
Ibu. Apa ibu bisa tenang dengan hidup yang sekarang? Dimana ibu sekarang? Tidak ada perantara yang mampu menyambungkan aku denganmu. Berbagai media massa di Australia memang banyak yang memberitakan tentang kematian ayah, tapi tidak dengan berita ibu. Ada hasrat besar dalam diri untuk berlari memelukmu erat dan kuluapkan semua air mata. Tapi tidak bisa. Mungkin kau sekarang sedang berekreasi ke taman bunga bersama keluarga barumu dan tidak mungkin terpikir tentangku yang sebatang kara hidup di negeri orang. Ibu, masih ingatkan dulu keceriaan masa kecilku dikala kau mengajariku melukis?
 Saat ini ku tengah mengitari ruang pameran seni lukis di sebuah gedung simposium besar di bawah langit kota Adelaide.. Tatapan mataku kosong mengguratkan kesedihan. Sebuah lukisan terang menyadarkanku. Tatapan mataku menajam ke arah titik di sebuah lukisan. Disana tersirat makna diatas suratan lukisan abstrak. Siratan itu entah mengapa mendorong hati yang paling dalam ini untuk melukiskan sebuah karya yang menyiratkan batin ini. Aku sedih. Aku marah. Aku rindu. Aku senang. Aku sepi, yaa aku sepi. Itu yang akan aku lukiskan.. Sekarang.
Ibu, jika kau tahu. Lukisan ini untukmu. Sungguh untukmu. Dari hati ini. Ku mulai menggoreskan cat warna dengan hati yang mengendalikan. Entah ku melukiskan apa. Yang kurasa hanya pipiku mulai basah dengan air mata yang begitu saja mengalir tanpa ku sadari. Dan dalam waktu sejam saja, kanvas itu telah penuh. Penuh dengan goresan luapan hati. Sungguh, ini luar biasa.
Kupajang lukisan tersebut di ruang pribadiku. Tapi entah mengapa setiap ku melihatnya, sepi ini semakin menyeruak. Meneriakkan kata rindu yang ingin terobati. Aku tak sanggup melihatnya. Kujual saja lukisan itu. Kuingin membuang rasa sepi ini. Jauh. Sangat jauh.
Lukisan itu terjual. Dengan harga yang diatas perkiraanku. Tapi bukan itu yang terpenting. Yang ku rasakan sepiku dapat membahagiakan orang lain, melalui seni. Itu yang terpenting. Terimakasih Tuhan.
Ku dengar lukisan itu terjual di luar Adelaide. Katanya di indonesia. Sungguh? Apa aku salah mendengar? Indonesia? Oh tidak! Aku begitu merindukannya. Negara dimana darahku berasal. Siapa yang membelinya? Ku ingin ucapkan berjuta tanda terimakasih padanya. Dia telah mengembalikan sepi ini ke tempat asalnya. Ke tempat tujuannya.
E-mail itu kuterima. Memang sudah 3 tahun ini ku berbisnis lukisan secara online. Dan ku gunakan e-mail sebagai ajang transaksi. E-mail si pembeli itu sampai sebagai bukti lukisan telah diterimanya. Dan ku berikan tanda terimakasihku padanya. Tapi e-mail yang kuterima berbeda dari buktipembelian yang biasanya aku terima. Sungguh merupakan kebetulan yang ajaib. Ini dia isi e-mail yang kuterima:
“Lukisan ini telah saya terima. Terimakasih. Saya terkejut melihat lukisan ini. Sungguh luar biasa jika dilihat secara langsung. Dan saya merasa ini keajaiban. Anda, Elza Maharani. Saya adalah penggemar Anda dari Indonesia. Saya bekerja di sebuah perusahaan finance di Jakarta.  Jika berkunjung ke indonesia, kabarilah saya. Saya ingin sekali bertemu dengan Anda. Saya ingin mengenal Anda dan semua imajinasi seni Anda.  Alamat saya di Jalan Kebon Raya no.9 “
Entah mengapa e-mai itu membuatku penasaran siapa gerangan yang membeli lukisanku. Entah mengapa aku sangat ingin terbang kesana untuk tahu siapa dia. Bagaimanapun aku adalah seorang yang ambisius. Apapun yang aku inginkan sebisa mungkin ku wujudkan. Dan kau tahu, besok, aku akan terbang kesana.
Singkat cerita, aku ada disini sekarang : Indonesia. Tanahku. Bangsaku. Darahku. Aku disini untuk pergi ke alamat itu. Dengan taksi aku ke sana. Jalan Kebon Raya no.9. Sekarang aku sedang dalam perjalanan kesana. Perjalanan penuh pertanyaan yang akupun masih tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan.. Dan dengan pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepalaku itu membuatku tak sadar bahwa aku sudah sampai ditujuanku.
Rumahnya cukup besar. Mewah. Sangat elegan.. Akupun memastikan aku tidak salah alamat. Dan ya, ini dia rumah orang itu. Orang yang membeli lukisanku. Aku taksabar ingin tahu siapa dia.
Saat  aku mengetuk pintu rumahnya, keluarlah seorang pembantu rumah tangga yang bekerja disana. Ku dipersilahkan menunggu di ruang tamu. Aku mengamati sekitar rumah ini. Sekelilingnya. Setiap sisinya. Setiap sentinya. Dan ku tercengang saat melihat sebuah foto keluarga sang pemilik rumah ini yang terfigura di sebuah spot dinding sebelah kanan.. Aku seperti mengenal sosok disana. Seorang wanita anggun yang memancarkan kecantikannya. Aku mengenalnya. Ya Tuhan, kau mengirimkan lukisanku ke tujuan yang sangat tepat. Dia ibuku. Sang pembeli lukisanku ialah, ayah tiriku. Akupun tercengang dan termangu tidak percaya. Terimakasih Tuhan.

                                                -SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar