Di Langit Adelaide
Percaya atau tidak, aku
membenci ibuku. Dialah orang ku benci dengan alasan mencintainya. Dia adalah
satu-satunya keluarga yang kumiliki. Tapi sesungguhnya aku enggan memilikinya.
Namaku Elza. Aku adalah anak tunggal dari seorang direktur utama sebuah majalah
fashion terkemuka di negara ini, dan seorang ibu rumah tangga yang kerjaannya
arisan setiap minggunya. Mereka bercerai ketika umurku 7 tahun.. Saat aku baru
mulai mengenal siapa diriku. Saat aku mulai mengingat kasih sayang yang setiap
orang berikan padaku. Yang ku rasa tidak ada sama sekali.
Ibuku pergi meninggalkanku
begitu saja. Pesannya, dia meninggalkanku karena menyayangiku. Pesannya, dia
hendak membiarkan ku hidup bersama ayah agar hidupku terjamin. Pesannya, ibuku
takan mampu membahagiakanku karena keterbatasan jaminanku dimasa depan setelah
bercerai dari ayahku. Inti pesannya ialah, dia mencintaiku. Tanpa pilihan, ku
menerima ‘pesannya’ itu. Dan tanpa pilihan ku turut mencintainya dengan
kebencian yang menggebu-gebu. Sebagai seorang anak, tak ada satupun yang
bahagia ditinggalkan seorang ibu yang melahirkannya. Dan itu yang menjadi
alasanku membencinya, walaupun ku tetap mencintainya. Sedikit yang tersisa.
Ayahku baru saja pergi
meninggalkanku ke surga. Seminggu yang lalu. Tepat dihari ulang tahunku yang ke
18. Oh Tuhan, ku sungguh mencintainya. Ku percaya Kaupun mencintainya. Karena
dengan memanggilnya, menandakan kau begitu merindukannya. Dan membiarkan
sekarang ku yang merindukannya. Dia adalah orang yang begitu spesial. Dan aku
merasa sangat beruntung menjadi anaknya. Seberuntung aku diberikan kesempatan
untuk menyelenggarakan pergelaran di bawah langit Adelaide. Sungguh beruntung.
Dan layaknya hidup, keberuntungan memang datang silihberganti. Dan
keberuntungan terbesarku sekarang telah pergi.
Kini ku hanya memiliki
ibuku. Telah 11 tahun ku enggan bertemu dengan nya. Dengan alasan yang
sama. Karya-karyaku banyak menyiratkan
tentangnya. Lukisanku yang berjudul “Rahim” dipentaskan dalam sebuah pameran
seni di Adelaide, Australia. Di saat kebahagiaan ini ingin kubagi dengan
ayahku, tak disangka kiamat kecil itu datang.
Akupun bimbang, tak tahu harus kemana. Haruskah aku pulang menemui ibuku
yang sekarang entah dimana. Tapi mungkin itu mustahil dengan semua yang telah
terjadi selama ini. Gengsi yang sangat tinggi kurasa. Dikarenakan rasa benci
itu.
Selama seminggu sudah hari-hariku
diselimuti awan mendung. Aku belum bisa pulang ke Indonesia karena berbagai hal
teknis, disamping aku belum mampu
menahan sesaknya dada ini karena semua yang terjadi. Aku jadi membenci hidupku.
Dan samasekali aku tidak
membuat keputusan untuk pulang. Aku tetap melanjutkan sekolahku di kota ini.
Aku terlanjur mencintai kota ini. Tidak ada bayang-bayang masalah kehidupan,
pertengkaran, perseteruan, yang dulu pernah mencemari masa kecilku. Di sini,
aku bertemu teman-teman dari berbagai belahan dunia yang bisa membuat aku
ceria. Tekadku kuat. Tidak ingin membuat ayah kecewa dengan keputusannya
menyekolahkanku di negeri orang sejak tingkat sekolah menengah. Dulu, aku
sangat bersemangat dan aku merasa ini bentuk kasih sayang ayah padaku. Tapi semakin
lama aku menyadari alasan mengapa ayah melakukan ini padaku. Sebuah kesibukan
yang mengalahkan cinta keluarga. Hingga aku bertanya pada diriku sendiri :
masihkah aku berharga di hadapan kedua orangtuaku??
Melukis. Mengalihkanku dari
semua derita ini. Kusibukkan diriku dengan kembali melukis. Tak kusadari
ternyata lukisanku—setelah ayah pergi—banyak menyiratkan luka, kegelapan, dan kepedihan.
Goresan warna hitam begitu kasar membelah kanvas. Lebih sering aku melukis
sambil menangis.
Apakah ibu tahu tentang
kematian ayah? Seberapa pedulikah ibu dengan ayah? Jangankan ayah—orang yang mungkin telah menggoreskan luka yang
begitu dalam bagi hidupnya—aku sendiri buah dagingnya tidak
dihiraukannya.
Ibu. Apa ibu bisa tenang
dengan hidup yang sekarang? Dimana ibu sekarang? Tidak ada perantara yang mampu menyambungkan aku denganmu.
Berbagai media massa di Australia memang banyak yang memberitakan tentang
kematian ayah, tapi tidak dengan berita ibu. Ada hasrat besar dalam diri untuk
berlari memelukmu erat dan kuluapkan semua air mata. Tapi tidak bisa. Mungkin
kau sekarang sedang berekreasi ke taman bunga bersama keluarga barumu dan tidak
mungkin terpikir tentangku yang sebatang kara hidup di negeri orang. Ibu, masih
ingatkan dulu keceriaan masa kecilku dikala kau mengajariku melukis?
Saat ini ku tengah mengitari ruang pameran
seni lukis di sebuah gedung simposium besar di bawah langit kota Adelaide..
Tatapan mataku kosong mengguratkan kesedihan. Sebuah lukisan terang
menyadarkanku. Tatapan mataku menajam ke arah titik di sebuah lukisan. Disana
tersirat makna diatas suratan lukisan abstrak. Siratan itu entah mengapa
mendorong hati yang paling dalam ini untuk melukiskan sebuah karya yang
menyiratkan batin ini. Aku sedih. Aku marah. Aku rindu. Aku senang. Aku sepi,
yaa aku sepi. Itu yang akan aku lukiskan.. Sekarang.
Ibu, jika kau tahu. Lukisan
ini untukmu. Sungguh untukmu. Dari hati ini. Ku mulai menggoreskan cat warna
dengan hati yang mengendalikan. Entah ku melukiskan apa. Yang kurasa hanya
pipiku mulai basah dengan air mata yang begitu saja mengalir tanpa ku sadari.
Dan dalam waktu sejam saja, kanvas itu telah penuh. Penuh dengan goresan luapan
hati. Sungguh, ini luar biasa.
Kupajang lukisan tersebut
di ruang pribadiku. Tapi entah mengapa setiap ku melihatnya, sepi ini semakin
menyeruak. Meneriakkan kata rindu yang ingin terobati. Aku tak sanggup
melihatnya. Kujual saja lukisan itu. Kuingin membuang rasa sepi ini. Jauh.
Sangat jauh.
Lukisan itu terjual. Dengan
harga yang diatas perkiraanku. Tapi bukan itu yang terpenting. Yang ku rasakan
sepiku dapat membahagiakan orang lain, melalui seni. Itu yang terpenting.
Terimakasih Tuhan.
Ku dengar lukisan itu
terjual di luar Adelaide. Katanya di indonesia. Sungguh? Apa aku salah mendengar? Indonesia? Oh tidak! Aku begitu merindukannya. Negara dimana
darahku berasal. Siapa yang membelinya? Ku ingin ucapkan berjuta tanda terimakasih
padanya. Dia telah mengembalikan sepi ini ke tempat asalnya. Ke tempat
tujuannya.
E-mail itu kuterima. Memang
sudah 3 tahun ini ku berbisnis lukisan secara online. Dan ku gunakan e-mail
sebagai ajang transaksi. E-mail si pembeli itu sampai sebagai bukti lukisan
telah diterimanya. Dan ku berikan tanda terimakasihku padanya. Tapi e-mail yang
kuterima berbeda dari buktipembelian yang biasanya aku terima. Sungguh merupakan
kebetulan yang ajaib. Ini dia isi e-mail yang kuterima:
“Lukisan ini telah saya
terima. Terimakasih. Saya terkejut melihat lukisan ini. Sungguh luar biasa jika
dilihat secara langsung. Dan saya merasa ini keajaiban. Anda, Elza Maharani. Saya
adalah penggemar Anda dari Indonesia. Saya bekerja di sebuah perusahaan finance
di Jakarta. Jika berkunjung ke indonesia,
kabarilah saya. Saya ingin sekali bertemu dengan Anda. Saya ingin mengenal Anda
dan semua imajinasi seni Anda. Alamat
saya di Jalan Kebon Raya no.9 “
Entah mengapa e-mai itu
membuatku penasaran siapa gerangan yang membeli lukisanku. Entah mengapa aku
sangat ingin terbang kesana untuk tahu siapa dia. Bagaimanapun aku adalah
seorang yang ambisius. Apapun yang aku inginkan sebisa mungkin ku wujudkan. Dan
kau tahu, besok, aku akan terbang kesana.
Singkat cerita, aku ada
disini sekarang : Indonesia. Tanahku. Bangsaku. Darahku. Aku disini untuk pergi
ke alamat itu. Dengan taksi aku ke sana. Jalan Kebon Raya no.9. Sekarang aku
sedang dalam perjalanan kesana. Perjalanan penuh pertanyaan yang akupun masih
tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan.. Dan dengan pertanyaan yang
terngiang-ngiang di kepalaku itu membuatku tak sadar bahwa aku sudah sampai
ditujuanku.
Rumahnya cukup besar.
Mewah. Sangat elegan.. Akupun memastikan aku tidak salah alamat. Dan ya, ini
dia rumah orang itu. Orang yang membeli lukisanku. Aku taksabar ingin tahu
siapa dia.
Saat aku mengetuk pintu rumahnya, keluarlah
seorang pembantu rumah tangga yang bekerja disana. Ku dipersilahkan menunggu di
ruang tamu. Aku mengamati sekitar rumah ini. Sekelilingnya. Setiap sisinya.
Setiap sentinya. Dan ku tercengang saat melihat sebuah foto keluarga sang
pemilik rumah ini yang terfigura di sebuah spot dinding sebelah kanan.. Aku seperti
mengenal sosok disana. Seorang wanita anggun yang memancarkan kecantikannya.
Aku mengenalnya. Ya Tuhan, kau mengirimkan lukisanku ke tujuan yang sangat
tepat. Dia ibuku. Sang pembeli lukisanku ialah, ayah tiriku. Akupun tercengang
dan termangu tidak percaya. Terimakasih Tuhan.
-SELESAI-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar