HARI PALING MENGESANKAN
“Menjadi diri sendiri dalam setiap
kesempatan akan membuatnya berkesan.”
H
|
ari yang
paling mengesankan dalam hidupku adalah hari ketika aku dilahirkan ke dunia.
Bayangkan, aku adalah orang yang amat dinanti-nanti dan diharapkan kehadirannya
oleh orang-orang yang aku sayangi, dan hebatnya lagi, yang melahirkanku adalah
seorang perempuan tangguh yang dengan sisa-sisa peluhnya masih rela menatap dan
tersenyum tulus kepadaku, menggendongku dan menyapihku, perempuan itu
mendekapku dengan sentuhan lembut penuh arti seolah dalam hatinya ia berjanji
untuk terus menjagaku sepenuh jiwanya. Dialah ibuku. Ibu yang hingga kini aku masih
dapat memanggilnya “ibu” dan merasakan kasih sayangnya.
Dari dalam sebuah klinik persalinan kecil yang terletak di salahsatu
sudut kota Bandung itulah semua kisah ini dimulai. Dan akulah tokoh utamanya.
Masih dalam suasana membahagiakan yang sama, aku diaqiqah pada hari
ketujuh kelahiranku, tujuh hari setelah tanggal 7 Januari tahun 1996. Seluruh
sanak saudara hadir. Mereka disibukkan dengan aku dan karena aku. Hanya oleh
diriku. Semua saudaraku berebut menggendongku, menciumku, memberiku hadiah dan
mengucapkan selamat kepada kedua orangtuaku.
Di hari aqiqah itulah ditetapkan secara resmi namaku yaitu Maryam
Fathimiy. Kakekkulah yang memberikan nama ini. Harapannya ingin aku tumbuh
menjadi seperti seorang wanita suci bernama Maryam yang namanya tercantum dalam
kitab suci Al-Qur’an. Dan kakekku inilah orang pertama yang aku bisa ucapkan
namanya saat aku baru belajar berbicara, aku memanggilnya akrab dengan sebutan “Abah”.
Kelahiranku menumbuhkan keceriaan baru dalam keluarga kecilku. Aku
memang cucu kedua nenek dan kakek (baik dari pihak ayah maupun pihak ibu),
sekaligus anak pertama dari orangtuaku. Saat itu, aku, ayah, dan ibuku masih
tinggal di rumah kakek dan nenekku, tepatnya di jalan Cisitu-Dago, Bandung.
Ayah belum memiliki cukup uang untuk membeli rumah khusus untuk kami bertiga.
Di usiaku yang kedua, aku dibawa ke Solo, Jawa Tengah. Solo adalah
kampung halaman ibuku. Beliau masih harus menyelesaikan kuliahnya di
Universitas Sebelas Maret Solo. Di sana aku tinggal bersama kakek dan nenekku
dari pihak ibu yang akrab kupanggil dengan sebutan “Ati” dan “Akong” (peleburan
dari eyang putri dan eyang kakung). Ayahku yang asli Bandung harus rela
pulang-pergi Solo-Bandung demi itu.
Setelah ibuku lulus kuliah dengan gelar Sarjana Sains, aku kembali
lagi ke Bandung, ke rumah nenekku. Usiaku saat itu 3,5 tahun. Kemudian ibu
bekerja sebagai guru matematika di sebuah bimbingan belajar di kota Bandung.
Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan aneh dan lucu yang aku lakukan di usia tersebut. Aku pernah tidak sengaja tertidur
di kamar nenekku dalam keadaan terkunci, aku hobi memegang daun telingaku, aku
tidur harus selalu diatas perlak, aku menangis sepanjang malam di dalam kereta
setiap kali aku ke solo, dan lain sebagainya.
Di rumah nenek, aku diasuh oleh seorang perempuan yang sudah kuanggap
seperti kakakku sendiri. Namanya Teh Kokom. Aku sering bermain rumah-rumahan
bersamanya. Belakangan ku ketahui dia usianya baru seusia anak kelas satu SMP
saat bekerja mengasuhku dan sekarang dia sudah berkeluarga. Aku rindu padanya.
Apakah dia masih mengingatku ya?
Aku mengikuti pengajian rutin setiap pagi hari di masjid terdekat.
Aku memiliki banyak teman seusiaku dari pengajian itu. Aku juga masih ingat
dengan guru ngajiku. “Teh Eneng” biasa ku memanggilnya. Aku masih sering
berjumpa dengannya setiap kali aku berkunjung ke rumah nenek.
Di usia batita ini, jangan kira aku sehat-sehat saja. Aku pernah
divonis menderita sakit TBC atau tuberkulosis
di usia yang tergolong masih sangat kecil. Setiap malam aku batuk-batuk dan
tidak enak tidur. Suhu tubuhku juga diukur sangat tinggi sampai menyebabkan aku
step. Kondisi seperti ini mengharuskan aku untuk senantiasa pergi ke dokter.
Aku masih ingat saat pertama kali disuntik. Aku rasa istilah disuntik itu sangat keren di telingaku.
Jadi awalnya aku senang-senang saja saat diberitahu ibu bahwa aku akan
disuntik. Tetapi, saat tiba waktunya aku berhadapan dengan jarum suntik, aku
gemetaran. Seketika itupun keberanianku tergantikan oleh rasa takut. Dan benar,
disuntik itu rasanya sakit sekali. Aku pun pernah menjalani proses rontgen. Bajuku dibuka dan aku disuruh
berdiri di depan sebuah kotak dengan tangan diangkat ke atas. Kemudian di
belakangku ada yang memotret. Jepret.
Di usia saat itu aku sudah memiliki dua orang adik laki-laki. Yang
pertama berbeda satu tahun denganku, dan yang kedua berbeda empat tahun. Sekarang
adikku sudah berjumlah 6 orang. Lima orang laki-laki dan seorang perempuan. Jadi,
aku adalah anak pertama dari 7 bersaudara. Sungguh ramai suasana rumah saat
semuanya berkumpul.
Aku bersama empat orang adikku di depan rumah, komplek Graha Alam
Raya W7 no12, Bandung. (kanan-kiri: Maryam Fathimiy, Imam Ja’far Shodiq, Qaul
Tsabit Mutawahhid, Annisa Sucinurani, Ismail Taqi Abdilah) doc.2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar