Sabtu, 11 Januari 2014

Halaman Pertama Cerita Hidupku



 
HARI PALING MENGESANKAN

“Menjadi diri sendiri dalam setiap kesempatan akan membuatnya berkesan.” 
H
ari yang paling mengesankan dalam hidupku adalah hari ketika aku dilahirkan ke dunia. Bayangkan, aku adalah orang yang amat dinanti-nanti dan diharapkan kehadirannya oleh orang-orang yang aku sayangi, dan hebatnya lagi, yang melahirkanku adalah seorang perempuan tangguh yang dengan sisa-sisa peluhnya masih rela menatap dan tersenyum tulus kepadaku, menggendongku dan menyapihku, perempuan itu mendekapku dengan sentuhan lembut penuh arti seolah dalam hatinya ia berjanji untuk terus menjagaku sepenuh jiwanya. Dialah ibuku. Ibu yang hingga kini aku masih dapat memanggilnya “ibu” dan merasakan kasih sayangnya.
Dari dalam sebuah klinik persalinan kecil yang terletak di salahsatu sudut kota Bandung itulah semua kisah ini dimulai. Dan akulah tokoh utamanya.
Masih dalam suasana membahagiakan yang sama, aku diaqiqah pada hari ketujuh kelahiranku, tujuh hari setelah tanggal 7 Januari tahun 1996. Seluruh sanak saudara hadir. Mereka disibukkan dengan aku dan karena aku. Hanya oleh diriku. Semua saudaraku berebut menggendongku, menciumku, memberiku hadiah dan mengucapkan selamat kepada kedua orangtuaku.
Di hari aqiqah itulah ditetapkan secara resmi namaku yaitu Maryam Fathimiy. Kakekkulah yang memberikan nama ini. Harapannya ingin aku tumbuh menjadi seperti seorang wanita suci bernama Maryam yang namanya tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an. Dan kakekku inilah orang pertama yang aku bisa ucapkan namanya saat aku baru belajar berbicara, aku memanggilnya akrab dengan sebutan “Abah”.     
Kelahiranku menumbuhkan keceriaan baru dalam keluarga kecilku. Aku memang cucu kedua nenek dan kakek (baik dari pihak ayah maupun pihak ibu), sekaligus anak pertama dari orangtuaku. Saat itu, aku, ayah, dan ibuku masih tinggal di rumah kakek dan nenekku, tepatnya di jalan Cisitu-Dago, Bandung. Ayah belum memiliki cukup uang untuk membeli rumah khusus untuk kami bertiga.
Di usiaku yang kedua, aku dibawa ke Solo, Jawa Tengah. Solo adalah kampung halaman ibuku. Beliau masih harus menyelesaikan kuliahnya di Universitas Sebelas Maret Solo. Di sana aku tinggal bersama kakek dan nenekku dari pihak ibu yang akrab kupanggil dengan sebutan “Ati” dan “Akong” (peleburan dari eyang putri dan eyang kakung). Ayahku yang asli Bandung harus rela pulang-pergi Solo-Bandung demi itu.
Setelah ibuku lulus kuliah dengan gelar Sarjana Sains, aku kembali lagi ke Bandung, ke rumah nenekku. Usiaku saat itu 3,5 tahun. Kemudian ibu bekerja sebagai guru matematika di sebuah bimbingan belajar di kota Bandung.
Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan aneh dan lucu yang aku lakukan  di usia tersebut. Aku pernah tidak sengaja tertidur di kamar nenekku dalam keadaan terkunci, aku hobi memegang daun telingaku, aku tidur harus selalu diatas perlak, aku menangis sepanjang malam di dalam kereta setiap kali aku ke solo, dan lain sebagainya.
Di rumah nenek, aku diasuh oleh seorang perempuan yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Namanya Teh Kokom. Aku sering bermain rumah-rumahan bersamanya. Belakangan ku ketahui dia usianya baru seusia anak kelas satu SMP saat bekerja mengasuhku dan sekarang dia sudah berkeluarga. Aku rindu padanya. Apakah dia masih mengingatku ya?
Aku mengikuti pengajian rutin setiap pagi hari di masjid terdekat. Aku memiliki banyak teman seusiaku dari pengajian itu. Aku juga masih ingat dengan guru ngajiku. “Teh Eneng” biasa ku memanggilnya. Aku masih sering berjumpa dengannya setiap kali aku berkunjung ke rumah nenek.
Di usia batita ini, jangan kira aku sehat-sehat saja. Aku pernah divonis menderita sakit TBC atau tuberkulosis di usia yang tergolong masih sangat kecil. Setiap malam aku batuk-batuk dan tidak enak tidur. Suhu tubuhku juga diukur sangat tinggi sampai menyebabkan aku step. Kondisi seperti ini mengharuskan aku untuk senantiasa pergi ke dokter. Aku masih ingat saat pertama kali disuntik. Aku rasa istilah disuntik itu sangat keren di telingaku. Jadi awalnya aku senang-senang saja saat diberitahu ibu bahwa aku akan disuntik. Tetapi, saat tiba waktunya aku berhadapan dengan jarum suntik, aku gemetaran. Seketika itupun keberanianku tergantikan oleh rasa takut. Dan benar, disuntik itu rasanya sakit sekali. Aku pun pernah menjalani proses rontgen. Bajuku dibuka dan aku disuruh berdiri di depan sebuah kotak dengan tangan diangkat ke atas. Kemudian di belakangku ada yang memotret. Jepret.
Di usia saat itu aku sudah memiliki dua orang adik laki-laki. Yang pertama berbeda satu tahun denganku, dan yang kedua berbeda empat tahun. Sekarang adikku sudah berjumlah 6 orang. Lima orang laki-laki dan seorang perempuan. Jadi, aku adalah anak pertama dari 7 bersaudara. Sungguh ramai suasana rumah saat semuanya berkumpul.

















Aku bersama empat orang adikku di depan rumah, komplek Graha Alam Raya W7 no12, Bandung. (kanan-kiri: Maryam Fathimiy, Imam Ja’far Shodiq, Qaul Tsabit Mutawahhid, Annisa Sucinurani, Ismail Taqi Abdilah) doc.2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar